JURGEN HABERMAS DAN HERMENEUTIKA KRITIS
JURGEN HABERMAS DAN HERMENEUTIKA KRITIS
Yanti Yulianti (1215020220)
A.
PENDAHULUAN
Istilah hermeneutika
berasal dari kata Yunani; hermeneuein, yang berarti "menafsirkan". Dalam
tradisi Yunani Kuno kata hermeneuein dipakai dalam tiga makna, yaitu: mengatakan
(to say), menjelaskan (to explain) dan menerjemahkan (to
translate). Menurut istilah, hermeneutika dapat dipahami sebagai suatu
filsafat yang memusatkan bidang kajiannya pada persoalan pemahaman pada
pemahaman terhadap teks. [1]
Permasalahan hermeneutik walaupun
merupakan topik bahasan lama. Sekarang ini telah menjadi sesuatu yang baru dan menarik.
Disamping itu hermeneutik telah menjadi telaah ilmiah yang meliputi beberapa
aspek. Aspek sejarah lahirnya wacana tersebut memunculkan beberapa tokoh termasuk
Habermas yang akan kita kaji serta pemikirannya tentang hermeneutik kritis. [2]
Dalam pembahasan ini, saya akan membahas lebih lanjut mengenai biografi Jurgen Habermas
dan pengertian, sejarah dan
perkembangan dari hermeneutika kritis. Saya juga
akan membahas bagaimana konsep-konsep, kritik dan
penerapan hermeneutika kritis.
B. PEMBAHASAN
1.
Biografi Jurgen
Habermas
Jurgen Habermas adalah salah seorang
filosof kontemporer yang lahir
di Gummersbach pada tahun 1929.[3] Awal pendidikan tingginya ditempuh di sebuah universitas di kota Gottingen.
Semula ia tertarik
pada kesusastraan, sejarah, kemudian pada filsafat, terutama pada Nicolai Hartmann, meskipun ia juga
tertarik di bidang psikologi dan
ekonomi. Setelah di Zurich, ia menentukan minatnya pada filsafat secara serius di Universitas Bonn, di mana tahun 1954, ia meraih
gelar “doktor filsafat” dengan sebuah
disertasi berjudul Das Absolute und dia Geshiclite (Yang Absolut dan Sejarah), yang merupakan studi tentang
pemikiran Schelling. [4]
Disamping ia tekun dalam meniti karier dibidang
filsafat ia meperlajari dan bahkan menekuni bidang
politik dan banyak berpartisipasi
dalam diskusi tentang “persenjatan kembali” (rearmament) di Jerman. Pada tahun 1956 Habermas berkenalan dengan lembaga penelitian
sosial di Frankfurt dan menjadi
asisten Adorno. Pada awal
tahun 1960-an Habermas sangat
popular di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh beberapa gologan dianggap
sebagai ideology mereka, khusunya bebarapa golongan “Sozialistische Deutsche Studentenbund” (ikatan mahasiswa sosialis Jerman).
Tetapi ketika aksi-aksi
mahasiswa mulai melewati
batas karena mulai menggunkan kekerasan, Habermas tidak segan mengemukankan kritiknya
sehingga ia terlibat
konflik dengan mahasiswa.
Pada tahun 1964 ia diangkat
sebagai professor sosiologi dan fisafat untuk menggatikan Horkheimer. Sesuai dengan tradisi
mazhab Frankfurt ia juga tidak
asing di amerika
serikat, sebab selama beberapa
waktu ia mengajar
pada New School for Social research
di New York. Di tahun 1969 ia menerbitkan buku yang berjudul
“Protesbewegung und Hochschul
reform” (gerakan perlawanan dan pembaharuan perguruan tinggi), tahun 1970 Habermas
meninggalkan Frankfurt dan pindah ke Starnberg untuk meneriman
tawaran menjadi direktur pada ‘Maz Planck Institut’, sebuah lembaga yang mempelajari kondisi-kondisi kehidupan dalam dunia
ilmiah teknis. Karya tulisnya cukup banyak. Dalam hal-hal pemikirannya di Jerman,
Habermas merupakan filosof
yang paling banyak didiskusikan. Sejak tahun 70-an Habermas semakin diperhatikan juga di daerah
berbahasa Inggris dan Prancis.[5]
2. Cultural
Background yang Melingkupi Habermas
Habermas merupakan seorang filsuf yang sangat
kritis terhadap pemikiran Marxis. Ia berupaya menyesuaikan warisan Marx dengan tuntutan-tuntutan
zamannya, sehingga yang dilakukannya tidak hanya mencoba mengupas kembali
karya-karya Marx sebagai bahan bakunya, melainkan juga menafsirkan kembali karya-karya
yang telah ditafsirkan oleh para pemikir Marxis. Ia berusaha menyingkirkan ciri-ciri
“romantis‟ dari pemikiran Marx. Hal ini terjadi karena, menurut Habermas, karya
Marx merupakan kritik yang berada dalam ketegangan pendekatan ‟ilmiah‟ dan “filosofis‟.
Habermas berpandangan, teori-teori yang pernah dianut
Marxis dalam bentuk klasiknya, sudah kadaluarsa dan harus dirumuskan di atas
landasan epistemologis yang baru, sehingga teori-teori itu dapat mendorong suatu
praxis. Yaitu suatu teori yang memerlukan pelaku-pelaku praxis yang menjadi alamat
bagi teori-teori itu. Pada zaman Marx, pelaku tersebut adalah kaum Proletariat
sebagai “jantung hati revolusi‟. Tetapi dalam masyarakat kapitalis, teori semacam
itu tidak lagi dapat dipertahankan. Para pendiri Mazhab Frankfurt generasi pertama,
seperti Adorno dan Horkheimer, mengalamatkan Teori Kritis kepada kelompok cendekiawan
dan mahasiswa.
Teori Kritis berupaya untuk melakukan kritik atas masalah
positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, yang beranggapan bahwa ilmu-ilmu sosial itu
bebas nilai (value-free), terlepas dari praktik sosial dan moralitas, dapat
dipakai untuk prediksi, bersifat obyektif, dan sebagainya. Implikasi logisnya
adalah bahwa pengetahuan yang dianggap benar hanyalah pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan
semacam itu hanya diperoleh dengan metode ilmu-ilmu alam. Oleh Teori Kritis, anggapan
tersebut dikritik sebagai (ilmu) yang menyembunyikan dukungan terhadap status
quo masyarakat di balik kedok obyektivitas. Kenyataan inilah yang oleh
Horkheimer dikatakan bahwa positivisme tidak lain digunakan sebagai ideologi.
Demikianlah bahwa teori kritis mendasarkan kerangka
kerjanya pada epistemologi yang bersifat praksis, tidak hanya mengangkat teori-teori
saja, melainkan mempraksis teori tersebut untuk melakukan “proyek‟ pembebasan
manusia dari ketidaksadaran atau terutama dari dogma-dogma ideologi
positivistik.
Teori Kritik mengalami kemacetan, bahkan ia berkembang
menjadi mitos baru yang lebih halus. Rasionalitas kritis tersebut berkembang
menjadi sebuah irrasionalitas, dan itulah mitos baru dalam masyarakat.
Kemacetan Teori Kritis tersebut dijawab oleh Habermas dengan mendasarkan teori
kritis pada epistemologi yang bersifat praksis dari rasionalitas ilmu. Teori
harus memiliki maksud atau dimensi praksis. Ciri khas dari hermeneutika kritis
yang berdiri dalam tradisi besar pemikiran adalah selalu berkaitan erat dengan kritik
terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata.[6]
Yang menarik, hermeneutika kritis
Habermas sendiri berkaitan erat atau bias dengan kepentingan. Pertama, sebagaimana
telah dijelaskan, ternyata Habermas dibesarkan di lingkungan kesarjanaan yang
sangat setia pada paradigma marxis. Berarti akar-akar pemikirannya banyak
dipengaruhi oleh Marxis di Jerman nampak pada teori ilmu pengetahuannya yang
diklaim sebagai bersifat membebaskan. Membebaskan dari segala jenis
keterasingan, penyimpangan dan perlakuan yang tidak manusiawi. Kedua, asas
teori yang dibangun oleh Habermas tidak terlepas dari lingkungan akademiknya,
yaitu universitas Frankfurt dan lingkungan komunitasnya, khususnya aliran
Frankfrut. Karena itu Habermas tidak dapat melepaskan dari keterkaitannya pada
para pendahulunya, malah ia dianggap pelanjut proyek generasi pertama aliran
Frankfrut yang telah dianggap buntu.
Ilmu-ilmu humaniora harus bisa memberikan teori yang
emansipatoris, dan mazhab Frankfurt memberikan usulan yang bernama teori
kritis. Tujuan teori kritis ini adalah memberikan kesadaran untuk membebaskan
manusia dari masyarakat irasional dan dengan demikian memberikan pula ke-
sadaran untuk pembangunan masyarkat rasional tempat manusia dapat memuaskan kebutuhan dan kemampuannya. Horkheimer percaya
teori kritis ini akan menjadi teori yang emansipatoris. Ciri-ciri dari teori
kritis ini adalah kritis, historis dan tidak memisahkan teori dengan praxis.
Mazhab Fraknfurt periode pertama mengalami kebuntuan
dengan teori ini. Hal itu tergam- bar jelas dalam karya Horkheimer dan Adorno,
Dialectic of Enlightenment. Menurut mereka teori tradisional pada awalnya
adalah menggantikan mitos-mitos yang terbentuk sebelumnya, dan teori
tradisional berhasil. Dia telah mengganti mitos dengan teori tradisional.
Tetapi dengan ciri-ciri yang dipunyai oleh teori tradisional, justru kemudian
teori tradisional mengukuhkan dirinya sendiri men- jadi mitos baru. Akhirnya
dengan teori kritis, posisi teori tradisional dapat digantikan, namun dengan
bergulirnya waktu teori kritis pun akan menjadi mitos, sehingga alurnya akan
berulang lagi. Itulah dilema dari usaha manusia rasional. Teori kritis pun
ternyata tidak mampu untuk membuat manusia. menghilangkan sisi
irrasionalitasnya. Proyek rasionalitas pencerahan untuk membebaskan manusia
dari mitos dan irrasionalitas adalah usaha yang sia-sia. Kebuntuan inilah yang
nantinya akan diberikan jalan keluar oleh Habermas.
Habermas sebagai pembaharu Mazhab Frankfurt yang
dengan teori kritisnya ingin menciptakan sebuah teori yang emansipatoris dapat
mengatasi kebuntuan antara rasionalitas dan irrasionalitas yang terjadi pada
para pendahulunya dengan teori tindakan komunikatif. Dengan teori ini Habermas
merasa semangat pencerahan dan modernitas tidaklah perlu untuk dijelaskan
tetapi cukup untuk di- perbaiki cacat-cacatnya. Karena teori Kritisnya ini maka
hermeneutika Habermas disebut Hermeneutika Kritis.[7]
3. Hermeneutika
Kritis
Hermeneutika kritis
(critical hermeneutis) dikemukakan oleh pemikir kritik ideologi tentang paradigma hermeneutika
kritis sebagai pendekatan lain dalam hermeneutika kontemporer. Hermeneutis kritis
menempatkan faktor-faktor ekstra linguistik sebagai masalah yang harus
dipecahkan oleh hermeneutika. Hermeneutika kritis mempertimbangkan keterkaitan suatu teks dengan teks
lain untuk memahami suatu maksud dari fenomena yang muncul dalam kehidupan.[8] Teori ini bertujuan untuk mengungkap
kepentingan di balik teks.
Tokoh dari hermeneutika ini adalah Jurgan
Habermas. Kendati memberikan penilaian positif atas gagasan Gadamer yang mempertahankan
dimensi sejarah hidup pembaca, Habermas sebagai penggagas hermeneutika kritis
menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya
yang dalam kedua hermeneutika sebelumnya justru diabaikan, yakni dimensi
ideologis penafsir dan teks.[9] Dalam dimensi ini, teks diandaikan bukan sebagai
medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya,
melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan
kepentingan pengguna teks. Oleh karena itu, selain horizon penafsir, teks harus
ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.[10]
C. KESIMPULAN
Jurgen Habermas
adalah salah seorang
filosof kontemporer yang lahir
di Gummersbach pada tahun 1929. Hermeneutika kritis Habermas sendiri berkaitan erat
atau bias dengan kepentingan. Pertama, sebagaimana telah dijelaskan, ternyata
Habermas dibesarkan di lingkungan kesarjanaan yang sangat setia pada paradigma
marxis. Berarti akar-akar pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Marxis di Jerman
nampak pada teori ilmu pengetahuannya yang diklaim sebagai bersifat
membebaskan. Membebaskan dari segala jenis keterasingan, penyimpangan dan
perlakuan yang tidak manusiawi.
Kedua,
asas teori yang dibangun oleh Habermas tidak terlepas dari lingkungan
akademiknya, yaitu universitas Frankfurt dan lingkungan komunitasnya, khususnya
aliran Frankfrut. Karena itu Habermas tidak dapat melepaskan dari
keterkaitannya pada para pendahulunya, malah ia dianggap pelanjut proyek
generasi pertama aliran Frankfrut yang telah dianggap buntu. Habermas merupakan seorang
filsuf yang sangat kritis. Karena teori Kritisnya ini maka hermeneutika
Habermas disebut Hermeneutika Kritis. Teori ini bertujuan untuk mengungkap
kepentingan di balik teks.
DAFTAR PUSTAKA
Apollo. (2022). Filsafat
Auditing. Makassar: Nas Media Pustaka
Atabik, Ahmad. (2013).
MEMAHAMI KONSEP HERMENEUTIKA KRITIS HABERMAS. Fikrah, Vol. I, No. 2.
Dimyati, Khudzaifah, dkk. (2021). PARADIGMA
BARU DALAM PENELITIAN HUKUM. Surakarta: Universitas Muhammadiyah
Surakarta
Susanto, Edi. (2016). Studi
Hermeneutika Kajian Pengantar. Jakarta: Kencana
Ulumuddin. (2006). JURGEN HABERMAS DAN HERMENEUTIKA KRITIS (Sebuah Gerakan Evolusi
Sosial). Jurnal Hunafa Vol. 3 No.1
Wijaya, Aksin. (2009). Teori
Interpretasi Al-Qur'an Ibn Rusyd; Kritik Ideologis- Hermeneutis. Yogyakarta: LkiSYogyakarta
Wijaya, Aksin. (2020).
Menalar Autentisitas
Wahyu Tuhan. Yogyakarta: IRCiSoD
[1] Susanto, Edi. Studi
Hermeneutika Kajian Pengantar. (Jakarta: Kencana, 2016). Hal. 1-2.
[2] Atabik, Ahmad.
Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas. Fikrah, Vol. I, No. 2. 2013. Hal. 2.
[3] Atabik, Ahmad.
Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas. Fikrah, Vol. I, No. 2. 2013. Hal. 3
[4]Ulumuddin. Jurgen Habermas Dan Hermeneutika Kritis (Sebuah Gerakan Evolusi Sosial). Jurnal Hunafa Vol. 3 No.1. 2006. Hal. 75
[5] Atabik, Ahmad.
Memahami Konsep Hermeneutika Kritis Habermas. Fikrah, Vol. I, No. 2. 2013. Hal. 4.
[6] Ulumuddin. Jurgen Habermas Dan Hermeneutika Kritis (Sebuah Gerakan Evolusi Sosial). Jurnal Hunafa Vol. 3 No.1. 2006. Hal. 77
[7] Apollo. (2022). Filsafat Auditing. Makassar: Nas Media Pustaka. Hal. 196.
[8] Dimyati, Khudzaifah, dkk. (2021). PARADIGMA BARU DALAM PENELITIAN HUKUM.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hal. 31.
[9] Wijaya, Aksin. (2009). Teori Interpretasi Al-Qur'an Ibn Rusyd; Kritik
Ideologis- Hermeneutis. Yogyakarta: LkiSYogyakarta Hal. 181
[10] Wijaya,
Aksin.
(2020). Menalar
Autentisitas Wahyu Tuhan. Yogyakarta:
IRCiSoD
Comments
Post a Comment