Ahli Sunnah Dan Jama'ah
Ahli Sunnah Dan Jama'ah
Term
ahli Sunnah dan Jama'ah ini kelihatannya timbul sebagai reaksi terhadap
paham-paham golongan Mu'tazilah dan terhadap sikap mereka dalam menyiarkan
ajaran-ajaran tersebut. Mulai dari Wasil, usaha-usaha telah dijalankan untuk
menyebarkan ajaran-ajaran itu, di samping usaha-usaha yang dijalankan dalam
menentang serangan musuh-musuh Islam. Menurut Ibn al-Murtada, Wasil mengirim
murid-muridnya ke Khurasan, Armenia, Yaman, Marokko, dan lain-lain.
Kelihatannya murid-murid itu berhasil dalam usaha-usaha mereka, karena menurut
Yaqut di Tahart, suatu tempat di dekat Tilimsan di Marokko, terdapat kurang
lebih 30 ribu pengikut Wasil. Mulai dari tahun 100 H atau 718 M, kaum
Mu'tazilah dengan perlahan-lahan memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam.
Pengaruh itu mencapai puncaknya di zaman khalifah-khalifah Bani 'Abbas
al-Ma'mun, al-Mu'tasim dan al-Wasiq (813 M-847 M), apalagi setelah al-Ma'mun di
tahun 827 M mengakui aliran Mu'tazilah sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Bertentangan
dengan paham qadariah yang dianut kaum Mu'tazilah dan yang menganjurkan
kemerdekaan dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan,
pemuka-pemuka Mu'tazilah memakai kekerasan dalam usaha menyiarkan ajaran-ajaran
mereka. Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa al-Qur'an tidak bersifat qadim,
tetapi baharu dan diciptakan. Paham adanya yang qadim di samping Tuhan bagi
kaum Mu'tazilah seperti dijelaskan sebelumnya, berarti menduakan Tuhan.
Menduakan Tuhan ialah syirk dan syirk adalah dosa yang terbesar
dan tak dapat diampuni oleh Tuhan.
Bagi
al-Ma'mun orang yang mempunyai paham syirk tak dapat dipakai untuk
menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh karena itu ia mengirim
instruksi kepada para Gubernurnya untuk mengadakan ujian terhadap pemuka-pemuka
dalam pemerintahan dan kemudian juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh
dalam masyarakat. Dengan demikian timbullah dalam sejarah Islam apa yang
disebut mihnah atau inquisition.
Contoh
dari surat yang mengandung instruksi itu terdapat dalam Tarikh al-Tabari.
Yang pertama sekali harus menjalani ujian ialah para hakim (al-qudah).
Instruksi itu menjelaskan bahwa orang yang mengakui al-Qur'an bersifat qadim,
dan dengan demikian menjadi musyrik, tidak berhak untuk menjadi hakim. Bukan
para hakim dan pemuka-pemuka saja yang dipaksa mengakui bahwa al-Qur'an
diciptakan; yang menjadi saksi dalam perkara yang dimajukan di mahkamah juga
harus menganut paham demikian. Jika tidak, kesaksiannya batal.
Kemudian
ujian serupa itu dihadapkan pula kepada pemukapemuka tertentu dari masyarakat,
karena yang memimpin rakyat haruslah orang yang betul-betul menganut paham tawhid.
Ahli Fikih dan ahli Hadis di waktu itu mempunyai pengaruh besar dalam
masyarakat. Kalau golongan ini mengakui diciptakannya al-Qur'an tentu banyak
dari rakyat yang mengikuti ajaran Mu'tazilah.
Di
antara yang diuji terdapat Ahmad Ibn Hanbal. Salah satu dari dialog yang
terjadi antara Ishaq Ibn Ibrahim, Gubernur Irak dengan Ahmad Ibn Hanbal
berjalan sebagai berikut:
Ishaq : Apa pendapatmu tentang
al-Qur'an?
Ibn
Hanbal : Sabda Tuhan.
Ishaq : Apakah ia diciptakan
Ibn Hanbal : Sabda Tuhan.
Saya tak dapat mengatakan lebih dari itu.
Ishaq : Apa arti
ayat: Maha Mendengar (Sami") dan Maha Melihat (Basir)?
(Ishak ingin menguji Ibn Hanbal
tentang paham anthropomorphisme).
Ibn Hanbal : Tuhan mensifatkan diri-Nya (dengan kata-kata : itu).
Ishaq : Apa artinya?
Ibn Hanbal : Tidak tahu. Tuhan adalah sebagaimana la : sifatkan diri-Nya.
Pemuka-pemuka
yang ikut diuji bersama-sama dengan Ibn Hanbai berjumlah kira-kira 30 orang,
dan dalam ujian-ujian ulangan selanjutnya hanya Ahmad Ibn Hanbal dan Muhammad
Ibn Nuh berkeras dan tidak mau mengubah keyakinan. Yang lainnya dibe baskan,
tetapi Ahmad Ibn Hanbal serta temannya dibelenggu dan dikirim dengan beberapa
orang lain kepada al-Ma'mun di Tarsus.
Tetapi
sebelum mereka sampai di kota itu, al-Ma'mun meninggal dunia dan sungguhpun
demikian, Ibn Hanbal tidak dibebaskan, karena ia dipandang sebagai pemuka
penting yang menentang paham diciptakannya al-Qur'an. Ujian-ujian dilanjutkan
lagi di zaman alMu'tasim (833-842 M). Karena keras pada pendiriannya Ibn Hanbal
didera dan kemudian dimasukkan ke dalam penjara.
Sikap
Ibn Hanbal yang dengan keberaniannya dan tak takut mati mempertahankan
keyakinannya membuat ia mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang
tak sepaham dengan kaum Mu'tazilah. Sungguhpun pemuka-pemuka lain menemui ajal
dengan hukuman bunuh, al-Mutasim dan al-Wasiq (824-847 M) tak berani
menjatuhkan hukum bunuh atas dirinya. Hukuman serupa itu akan menimbulkan
kekacauan. Akhirnya al-Mutawakkil membatalkan pemakaian aliran Mu'tazilah
sebagai mazhab di Negara di tahun 848 M. Dengan demikian selesailah riwayat mihnah
yang ditimbulkan kaum Mu'tazilah dan dari ketika itu mulailah menurun pengaruh
dan arti kaum Mu'tazilah.
Tetapi
peristiwa itu merugikan bagi aliran Mu'tazilah. Lawan mereka menjadi banyak;
terutama di kalangan rakyat biasa yang tak dapat menyelami ajaran-ajaran mereka
yang bersifat rasional dan filosofis itu. Rakyat biasa, dengan pemikiran mereka
yang sederhana, ingin pada ajaran-ajaran yang sederhana pula. Kaum Mu'tazilah
dalam sejarah memang merupakan golongan minoritas.
Selanjutnya
kaum Mu'tazilah tidak begitu banyak berpegang pada sunnah atau tradisi, bukan
karena mereka tidak percaya pada tradisi Nabi dan para sahabat, tetapi karena
mereka ragu akan keoriginalan hadis-hadis mengandung sunnah atau tradisi itu.
Oleh karena itu mereka dapat dipandang sebagai golongan yang tidak berpegang
teguh pada sunnah.
Dengan
demikian kaum Mu'tazilah, di samping merupakan golongan minoritas, adalah pula
golongan yang tidak kuat berpegang pada sunnah.
Mungkin
inilah yang menimbulkan term ahli Sunnah dan jama'ah, yaitu golongan yang
berpegang pada sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan bagi golongan
Mu'tazilah yang bersifat minoritas dan tak kuat berpegang pada sunnah.
Maka
sunnah dalam term ini berarti Hadis. Sebagai diterangkan Ahmad Amin, Ahli
Sunnah dan Jama'ah, berlainan dengan kaum Mu'tazilah percaya pada dan menerima
hadis-hadis sahih tanpa memilih dan tanpa interpretasi. Dan jama'ah
berarti mayoritas sesuai dengan tafsiran yang diberikan Sadr al-Syari'ah
al-Mahbubi yaitu 'ammah al-Muslimin (umumnya umat Islam) dan al-jama'ah
alkasir wa al-sawad al-a'zam (jumlah besar dan khalayak ramai).
Term
ini kelihatannya banyak dipakai sesudah timbulnya aliranaliran al-Asy'ari dan
al-Maturidi, dua aliran yang menentang ajaranajaran Mu'tazilah. Dalam hubungan
ini Tasy Kubra Zadah menerangkan: "... dan aliran Ahli Sunnah dan Jama'ah
muncul (zahara) atas keberanian dan usaha Abu al-Hasan al-Asy'ari di sekitar
tahun 300 H, karena ia lahir di tahun 260 H, dan menjadi pengikut Mu'tazilah
selama 40 tahun."?) Dengan kata lain al-Asy'ari keluar dari golongan
Mu'tazilah sekitar tahun 300 H dan selanjutnya membentuk aliran teologi yang
kemudian dikenal dengan namanya sendiri. Tetapi lama sebelum lahirnya aliran
Asy'ari kata-kata sunnah dan jama'ah telah dijumpai di dalam tulisan-tulisan
Arab. Umpamanya di dalam surat al-Ma'mun kepada Gubernurnya Ishaq Ibn Ibrahim
yang ditulis di tahun 218 H, yaitu sebelum al-Asy'ari lahir, tercantum
kata-kata wa nasabu anfusahum ila al-sunnah (mereka mempertalikan diri
mereka dengan sunnah) dan kata-kata ahl al-haq wa al-din wa al-jama'ah
(ahli kebenaran, agama dan jama'ah).
Bagaimanapun,
yang dimaksud dengan Ahli Sunnah dan Jama'ah di dalam lapangan teologi Islam
adalah kaum Asy'ariah dan kaum Maturidi.
1. Aliran
Asy’ariyah
Abu
al-Hasan `Ali Ibn Isma'il al-Asy'ari lahir di Basrah di tahun 873 M dan wafat
di Bagdad pada tahun 935 M. Pada mulanya ia adalah murid al-Jubba'i dan salah
seorang terkemuka dalam golongan Mu'tazilah sehingga menurut al-Husain Ibn
Muhammad al- Askari, al-Jubba'i berani mempercayakan perdebatan dengan lawan
kepadanya.
Tetapi
oleh sebab-sebab yang tidak begitu jelas, al-Asy'ari, sungguhpun telah puluhan
tahun menganut paham Mu'tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu'tazilah. Sebab
yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan Ibn 'Asakir, ialah bahwa
pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad SAW,
mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan mazhab
Mu'tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat dengan gurunya
al-Jubba'i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah
satu perdebatan itu, menurut al-Subki, berlaku sebagai berikut:
Al-Asy'ari :Bagaimana kedudukan ketiga
orang berikut: Mukmin, kafir dan anak kecil di akhirat?
Al-Jubba'I :Yang mukmin mendapat
tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari
bahaya neraka.
Al-Asy'ari :Kalau yang kecil ingin
memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba'I :Tidak, yang mungkin
mendapat tempat yang baik itu, karena kepatuhannya kepada Tuhan.Yang kecil
belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy'ari :Kalau anak itu mengatakan
kepada Tuhan: Itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus
hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan
orang mukmin itu.
Al-Jubba'I :Allah akan menjawab:
"Aku tahu bahwa jika engkau terus hidup engkau akan berbuat dosa dan oleh
karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu Aku cabut nyawamu sebelum
engkau sampai kepada umur tanggung jawab.
Al-Asy'ari :Sekiranya yang kafir
mengatakan: "Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa
depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?"
Di sini
al-Jubba'i terpaksa diam.
Terlepas
dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subhi di atas dengan
fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu
dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu'tazilah yang dianutnya selama ini.
Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy'ari
mengasingkan diri di rumah selama lima belas hari untuk memikirkan ajaran-ajaran
Mu'tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke mesjid, naik mimbar dan
menyatakan:
“Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir
tentang keterangan keterangan dan dalil-dalil yang diberikan masingmasing
golongan. Dalil-dalil yang dimajukan dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh
karena itu saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang
meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru
yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan
sebagaimana saya melemparkan baju ini.”
Di
sini timbul sial apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan syak dalam diri
al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham Mu'tazilah?
Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini. Menurut Ahmad Mahmud
Subhi syak itu timbul karena al-Asy'ari menganut mazhab Syafi'i. Al-Syafi'i
mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah,
umpamanya al-Syafi'i berpendapat bahwa al-Qur'an tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat nanti.
Menurut
Hammudah Ghurabah ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy'ari dari
al-Jubba'i, menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaian yang
memuaskan,!4) umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak kecil tersebut di atas.
Dari kalangan kaum Orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang
Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang mungkin membawanya kepada
perubahan mazhab itu. Arab padang pasir bersifat tradisional dan fatalistis
sedang kaum Mu'tazilah bersifat rasional dan percaya pada kebebasan dalam
kemauan dan perbuatan. Spitta menganggap bahwa al-Asy'ari setelah mempelajari
Hadis melihat perbedaan yang terdapat antara ajaran-ajaran Mu'tazilah dan “spirit
Islam”.Yang dimaksud Spitta dengan "spirit Islam” kelihatannya ialah Islam
sebagai digambarkan dalam Hadis.
Bagaimanapun
interpretasi-interpretasi seperti yang dimajukan di atas tidak dapat memberikan
jawaban yang memuaskan. Pendapatpendapat itu menimbulkan persoalan lain pula:
apa sebabnya sesudah puluhan tahun menganut paham Mu'tazilah baru al-Asy'ari
merasa hal-hal tersebut di atas? Dan kemudian menukar mazhab?
Tetapi
bagaimanapun al-Asy'ari meninggalkan paham Mu'tazilah seketika golongan ini
sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah al-Mutawakkil
membatalkan putusan alMa'mun tentang penerimaan aliran Mu'tazilah sebagai
mazhab negara, kedudukan kaum Mu'tazilah mulai menurun, apalagi setelah
al-Mutawakkil menunjukkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap diri Ibn
Hanbal, lawan Mu'tazilah terbesar di waktu itu. Sekarang keadaan menjadi terbalik:
Ibn Hanbal dan pengikut-pengikutnya, menjadi golongan yang dekat pada
pemerintah, sedangkan kaum Mu'tazilah menjadi golongan yang jauh dari Dinasti
Bani "Abbas. Umat Islam yang tak setuju dengan ajaran-ajaran Mu'tazilah
selama ini mulai merasa bebas untuk menyerang mereka. Dalam keadaan serupa ini
timbul pula perpecahan di dalam golongan Mu'tazilah sendiri.
Bahkan
sebagian pemuka-pemuka meninggalkan barisan Mu'tazilah seperti Abu 'Isa
al-Warraq dan Abu al-Husain Ahmad Ibn al-Rawandi.
Dalam
suasana demikianlah al-Asy'ari keluar dari golongan Mu'tazilah dan menyusun
teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Hadis. Di
sini timbul pertanyaan. apakah tidak mungkin bahwa al-Asy'ari meninggalkan
paham Mu'tazilah, karena melihat bahwa aliran Mu'tazilah tidak dapat diterima
oleh umumnya umat Islam yang bersifat sederhana dalam pemikiran-pemikiran? Dan
pada waktu itu tidak ada aliran teologi lain yang teratur sebagai gantinya
untuk menjadi pegangan mereka. Dengan kata lain, tidakkah mungkin bahwa
al-Asy'ari melihat bahayanya bagi umat Islam kalau mereka ditinggalkan tidak
mempunyai pegangan teologi yang teratur. Rasanya hal inilah, ditambah dengan
perasaan syak tersebut di atas yang mendorong al-Asy'ari untuk meninggalkan
ajaran-ajaran Mu'tazilah dan membentuk teologi baru setelah puluhan tahun ia
menjadi penganut setia aliran Mu'tazilah.
Ajaran-ajaran
al-Asy'ari sendiri dapat diketahui dari buku-buku yang ditulisnya, terutama
dari Kitab al-Luma' Fi al-Rad 'ala Ahl al-Ziagh wa al-Bida' dan al-Ibanah
'an Usul al-Dianah di samping buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya.
Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah tentu ia berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat. Mustahil kata al-Asy'ari Tuhan mengetahui dengan zat-Nya. karena dengan
demikian zat-Nya adalah pengetahuan dan Tuhan sendiri adalah pengetahuan. Tuhan
bukan pengetahuan ('ilm) tetapi yang Mengetahui ('Alim). Tuhan
mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan-Nya bukanlah zat-Nya. Demikian
pula dengan sifat sifat seperti sifat hidup, berkuasa, mendengar dan melihat.
Al-Qur'an,
berlainan pula dengan pendapat al-Mu'tazilah, bagi al-Asy'ari tidaklah
diciptakan sebab kalau ia diciptakan, maka sesuai dengan ayat:
اِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَيْءٍ اِذَااَرَدْنَاهُ اَنْ نَقُوْلَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
untuk
penciptaan itu perlu kata kun, dan untuk terciptanya kun ini
perlu pula kata kun yang lain; begitulah seterusnya sehingga terdapat
rentetan kata-kata kun yang tak berkesudahan. Dan ini tak mungkin. Oleh
karena itu al-Qur'an tak mungkin diciptakan.
Tuhan
dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat al-Asy'ari. Di antara alasan-alasan
yang dikemukakannya, ialah bahwa sifatsifat yang tak dapat diberikan kepada
Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan.
Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal ini, karena apa yang
dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti bersifat diciptakan.
Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu tidak mesti berarti
bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
Perbuatan-perbuatan
manusia, bagi al-Asy'ari, bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri, sebagai
pendapat Mu'tazilah, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Perbuatan kufr adalah
buruk, tetapi orang kafir ingin supaya perbuatan kufr itu sebenarnya
bersifat baik. Apa yang dikehendaki orang kafir ini tak dapat diwujudkannya.
Perbuatan iman bersifat baik, tetapi berat dan sulit. Orang mukmin ingin supaya
perbuatan iman itu janganlah berat dan sulit, tetapi apa yang dikehendakinya
itu tak dapat diwujudkannya. Dengan demikian yang mewujudkan perbuatan kufr
itu bukanlah orang kafir yang tak sanggup membuat kufr bersifat baik,
tetapi Tuhanlah yang mewujudkannya dan Tuhan memang berkehendak supaya kufr
bersifat buruk.
Demikian
pula, yang menciptakan pekerjaan iman bukanlah orang mukmin yang tak sanggup
membuat iman bersifat tidak berat dan sulit, tetapi Tuhanlah yang
menciptakannya dan Tuhan memang menghendaki supaya iman bersifat berat dan
sulit. Istilah yang dipakai al-Asy'ari untuk perbuatan manusia yang diciptakan
Tuhan ialah al-kasb. Dan dalam mewujudkan perbuatan yang diciptakan itu,
daya yang ada dalam diri manusia tak mempunyai efek.
Mengenai
anthropomorphisme, al-Asy'ari berpendapat bahwa Tuhan mempunyai muka, tangan,
mata dan sebagainya dengan tidak ditentukan bagaimana (bila kaifa) yaitu
dengan tidak mempunyai bentuk dan batasan (la yukayyaf wa la yuhad).
Al-Asy'ari
seterusnya menentang paham keadilan Tuhan yang dibawa kaum Mu'tazilah. Menurut
pendapatnya Tuhan berkuasa mutlak dan tak ada suatu pun yang wajib bagi-Nya.
Tuhan berbuat sekehendak-Nya, sehingga kalau Ia memasukkan seluruh manusia ke
dalam surga bukanlah Ia bersifat tidak adil dan jika la memasukkan seluruh
manusia ke dalam neraka tidaklah Ia bersifat zalim. Dengan demikian ia juga tidak
setuju dengan ajaran Mu'tazilah tentang al-wa'd wa al-Wa'id.
Juga
ajaran tentang posisi menengah ditolak. Bagi al-Asy'ari orang yang berdosa
besar tetap mukmin, karena imannya masih ada, tetapi karena dosa besar yang
dilakukannya ia menjadi fasiq. Sekiranya orang berdosa besar bukanlah
mukmin dan bukan pula kafir, maka dalam dirinya akan tidak didapati kufr
atau iman; dengan demikian bukanlah ia atheis dan bukanlah pula monotheis,
tidak teman dan tidak pula musuh. Hal serupa ini tidak mungkin. Oleh karena itu
tidak pula mungkin bahwa orang berdosa besar bukan mukmin dan pula tidak kafir.
Kalau
al-Asy'ari merupakan pemuka yang pertama membentuk aliran yang kemudian memakai
namanya, maka pemuka-pemuka yang memperkembangkan aliran itu adalah pengikut-pengikutnya,
Salah satu di antara pengikut yang terpenting ialah Muhammad ibn al-Tayyib Ibn
Muhammad Abu Bakr al-Baqillani. Ia memperoleh ajaran-ajaran al-Asy'ari dari dua
muridnya, Ibn Mujahid dan Abu al-Hasan al-Bahili, dan wafat di Bagdad tahun
1013 M. Tetapi al. Baqillani tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran
al-Asy'ari. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan al-Asy'ari.
Apa
yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi al-Baqilani bukanlah sifat, tetapi hal,
sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu'tazilah; sungguhpun ia pada mulanya
mempunyai pendapat yang sebaliknya.
Selanjutnya
ia juga tidak sepaham dengan al-Asy'ari paham perbuatan manusia. Kalau bagi
al-Asy'ari perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan seluruhnya, menurut
al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan
perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan ialah gerak yang terdapat dalam diri
manusia; adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia
sendiri. Dengan kata lain, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk,
duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus
(jenis) adalah ciptaan Tuhan, tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan
sebagainya yang merupakan spectes (naw) dari gerak, adalah perbuatan
manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Tuhan itu, mengambil
bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi
AlAsy'ari daya manusia dalam kasb tidak mempunyai efek, bagi alBaqillani daya
itu mempunyai efek.
Salah
satu pengikut al-Asy'ari yang besar pula pengaruhnya ialah 'Abd al-Malik
al-Juwaini yang juga terkenal dengan nama Imam alHaramain. Ia lahir di Khurasan
tahun 419 H, dan wafat di tahun 478 H.
Sama
dengan al-Baqillani, al-Juwaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran
yang ditinggalkan al-Asy'ari. Mengenai anthropomorphisme umpamanya ia
berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan,
mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud
Tuhan." Dan keadaan Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan
Berkuasa dan Mahatinggi.
Mengenai
soal perbuatan manusia al-Juwaini pergi lebih jauh dari al-Baqillani . Daya
yang ada pada manusia dalam pendapat alJuwaini juga mempunyai efek. Tetapi
efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud
perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud daya ini bergantung
pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi
dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Tuhan. Dengan demikian al-Juwaini berada jauh dari paham al-Asy'ari dalam hal
ini dan dekat dengan paham Mu'tazilah tentang causality, atau sebagai kata
Ahmad Amin, “kembali dengan melalui jalan berkelok-kelok kepada ajaran
Mu'tazilah."
Abu
Hamid al-Ghazali (1058-1111) adalah pengikut al-Asy'ari yang terpenting dan
terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli Sunnah dan Jama'ah.
Berlainan dengan gurunya alJuwaini dan dengan al-Baqillani, paham teologi yang
dimajukannya boleh dikatakan tidak berbeda dengan paham-paham al-Asy'ari.
AlGhazali, seperti al-Asy'ari tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim
yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar Juga al-Qur'an,
dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan.Mengenai perbuatan
manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan
perbuatan. Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat
menyerupai impotensi. Selanjutnya al-Ghazali mempunyai paham yang sama dengan
al-Asy'ari tentang beautific vision yaitu bahwa Tuhan dapat dilihat
karena tiap-tiap yang mempunyai zat.wujud dapat dilihat. " Demikian pula
penolakan terhadap paham keadilan yang ditimbulkan kaum Mu'tazilah. Tuhan tidak
berkewajiban menjaga kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia, tidak
wajib memberi upah atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatannya,
bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia. Tuhan
berkuasa mutlak dan tidak akan bertentangan dengan sifat-sifat ketuhanan-Nya,
jika atas kehendakNya, la menghancurkan makhluk-Nya atau memberi ampun kepada
semua orang kafir dan menghukum semua orang mukmin."
Atas
pengaruh al-Ghazali, ajaran al-Asy'ari yang serupa inilah yang meluas di
kalangan Islam Ahli Sunnah dan Jama'ah. Aliran Asy'ariah sungguhpun muncul di
waktu aliran Mu'tazilah sedang dalam keadaan jatuh, tidak cepat meluas di dunia
Islam bahkan pemuka-pemukanya pernah mengalami tindasan dari pihak
penguasapenguasa Islam.
Setelah
dijatuhkan oleh al-Mutawakkil di tahun 848, kaum Mu'tazilah mendapat kesempatan
untuk naik kembali di zaman berkuasanya Dinasti Buwaihi di Bagdad. Ahmad Ibn
Buwaihi, kepala Dinasti yang beraliran Syi'ah, menyerang dan menguasai Bagdad
di tahun 945. Dinasti Buwaihi berkuasa di ibukota Bani ’Abbas ini sampai tahun
1055.
Di
zaman ini orang-orang Mu'tazilah mulai kembali menduduki posisi-posisi penting
dalam negara; seperti Abu Muhammad Abdullah Ibn Ma'ruf, Hakim Kepala (Qadi
al-Qudah) Kerajaan Bani 'Abbas di Bagdad dan 'Abd al-Jabbar Ahmad Ibn 'Abd
al-Jabbar, Hakim Kepala Daerah Ray. Juga diadakan majelis-majelis besar untuk
pengajaran aliran Mu'tazilah, seperti majelis Abu al-Hasan Muhammad Ibn Tayyib
al-Basri di Bagdad dan majelis al-Hasan Ibn Raja al-Dahhan. Kalau seratus tahun
sebelumnya, kaum Mu'tazilah mendapat sokongan kuat dari Khalifah al-Ma'mun maka
kali ini sokongan yang demikian mereka peroleh dari al-Sahib Ibn 'Abbad,
(977-995 M) Perdana Menteri dari Sultan Fakhr al-Dawlah.
Dinasti
Buwaihi beraliran Syi'ah dan dalam teologi, Syi'ah dan Mu'tazilah mempunyai
paham-paham dasar yang sama. Ini dapat dilihat dari buku-buku teologi Syi'ah
umpamanya buku Syarh Bab al-Hadi 'Asvar atau Anwar al-Malakut Fi
Syarh al-Yaqut oleh alHilli. Apa sebabnya kaum Syi'ah mempunyai paham
Mu'tazilah dalam teologi tidak begitu jelas. Di antara argumen-argumen yang
dimajukan, sesudah kaum Mu'tazilah jatuh dan ahli Hadis dan kemudian kaum
Asy'ariah berpengaruh dalam masyarakat Islam, golongan Mu'tazilah berteman
dengan kaum Syi'ah untuk menentang aliran Ahli Sunnah. Dan kaum Syi'ah sebagai
golongan yang terutama mementingkan soal politik pada waktu itu belum mempunyai
ajaran-ajaran teologi.
Selain
itu, golongan Syi'ah banyak dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran filsafat; dan
bagi golongan yang serupa ini teologi yang erdasar pada rasio seperti
dianjurkan kaum Mu'tazilah lebih sesuai iripada aliran teologi yang banyak
bersifat tradisional, seperti yang timbulkan oleh al-Asy'ari.
Sewaktu
Dinasti Buwaihi digulingkan oleh Tughril dari Dinasti Saljuk di tahun 1055,
kedudukan golongan Mu'tazilah belum mengalami perubahan. Tughril mempunyai
Perdana Menteri yang beraliran Mu'tazilah yaitu Abu Nasr Muhammad Ibn Mansur
al-Kunduri (416456 H). Atas pengaruhnya kaum Mu'tazilah tetap dalam keadaan
baik dan Ahli Sunnah sebaliknya mulai mengalami masa kesukaran. Antara golongan
Asy'ariah dan golongan Mu'tazilah timbul permusuhan dan, atas usaha al-Kunduri,
Sultan Tughril mengeluarkan perintah untuk menangkapi pemuka-pemuka aliran
Asy'ariah. Di antara yang ditangkap dan dipenjarakan terdapat Abu al-Qasim
alQusyairi (986-1074). Imam al-Haramain dan pemuka-pemuka lain melarikan diri
ke Hijaz.
Pemburuan
terhadap pemuka-pemuka Asy'ari ini berhenti dengan wafatnya Tughril di tahun
1063. Penggantinya Alp Arselan (1063-1092) mengangkat Nizam al-Mulk sebagai
pengganti al-Kunduri.
Perdana
Menteri baru itu adalah penganut aliran Asy'ariah, dan atas usahanya pula
aliran ini cepat berkembang, sedangkan aliran Mu'tazilah mulai mundur kembali.
Ia mendirikan sekolah-sekolah yang diberi nama al-Nizamiah, di antaranya di
Bagdad di mana alGhazali pernah mengajar. Di sekolah-sekolah ini dan sekolah
lain diajarkan teologi Asy'ariah. Pembesar-pembesar negara juga menganut aliran
Asy'ariah. Dengan demikian paham-paham Asy'ariah pun mulai tersebar luas bukan
di daerah kekuasaan Saljuk saja, tetapi juga di dunia Islam lainnya.
Di
Mesir aliran itu dibawa oleh Salah al-Din al-Aiyubi, sebagai pengganti dari
aliran Syi'ah yang dibawa oleh kerajaan Fatimi yang berkuasa di Mesir dari
tahun 969 M sampai 1171 M. Ke Maroko dan Andalusia aliran itu disiarkan oleh
Muhammad Ibn Tumart, murid dari al-Ghazali dan yang kemudian mendirikan
Kerajaan Muwahhid (1130-1269) di Afrika Utara dan Spanyol. Di dunia Islam
bagian Timur ajaran itu dibawa oleh Mahmud al-Ghaznawi (9991030 M) sampai ke
India. Kerajaan yang dibentuk Dinasti Ghaznawi ini berkuasa di Afganistan dan
Punjab dari tahun 962 sampai 1186 M. Pada suatu masa kekuasaan Dinasti ini
meluas sampai ke Irak melalui Persia.
Pada
waktu itu rakyat biasanya mengikuti mazhab yang dipakai Dinasti yang berkuasa.
Ini merupakan masalah satu faktor penting bagi tersebarluasnya aliran Asy'ariah
di dunia Islam pada waktu itu. Dengan lenyapnya aliran-aliran lain, terutama
aliran Mu'tazilah, maka aliran Asy'ariah tak memperoleh saingan untuk
mempengaruhi umat Islam sejak waktu itu hingga sekarang.
2. Aliran
Maturidiah
Abu
Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud alMaturidi lahir di Samarkand pada
pertengahan kedua dari abad ke-9 M dan meninggal di tahun 944 M. Tidak banyak
diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan
paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan pahampaham yang dimajukan Abu
Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam
golongan teologi Ahli Sunnah dan dikenal dengan nama al-Maturidiah.
Literatur
mengenai ajaran-ajaran Abu Mansur dan aliran Maturidiah tidak sebanyak
literatur mengenai ajaran-ajaran Asy'ariah. Buku-buku yang banyak membahas soal
sekte-sekte seperti bukubuku al-Syahrastani, Ibn Hazm, al-Baghdadi dan
lain-lain tidak memuat keterangan-keterangan tentang al-Maturidi atau pengikutpengikutnya.
Karangan-karangan al-Maturidi sendiri masih belum dicetak dan tetap dalam
bentuk MSS (Makhtutat).
Di
antara MSS itu ialah Kitab al-Tawhid dan Kitab Ta'wil alQur'an.
Seterusnya ada pula karangan-karangan yang dikatakan di susun oleh al-Maturidi
yaitu Risalah Fi al-'Aqa'id dan Syarh al-Fiqh al-Akbar.
Keterangan keterangan mengenai pendapat-pendapat alMaturidi dapat diperoleh
lebih lanjut dari buku-buku yang dikarang oleh pengikut-pengikutnya seperti
Isyarat al-Maram oleh al-Bayadi dan Usul al-Din oleh al-Bazdawi.
Sebagai
pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya,
al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya.
Oleh
karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh al-Asy'ari
terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran
Mu'tazilah.
Dalam
soal sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan antara al-Asy'ari dan al-Maturidi.
Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat.Maka menurut pendapatnya, Tuhan
mengetahui bukan dengan zat-Nya, tetapi mengetahui dengan pengetahuan-Nya, dan
berkuasa bukan dengan zat-Nya.
Tetapi
dalam soal perbuatan-perbuatan manusia, al-Maturidi sependapat dengan golongan
Mu'tazilah, bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan
perbuatan-perbuatannya.46) Dengan demikian ia mempunyai paham qadariah
dan bukan paham jabariah atau kasb Asy'ari.
Sama
dengan al-Asy'ari, al-Maturidi menolak ajaran Mu'tazilah tentang al-salah wa
al-aslah, tetapi di samping itu al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan
mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu. Al-Maturidi juga tidak sepaham dengan
Mu'tazilah tentang masalah al-Qur'an yang menimbulkan heboh itu. Sebagaimana
al-Asy'ari ia mengatakan bahwa kalam atau sabda Tuhan tidak diciptakan, tetapi
bersifat qadim.
Mengenai
soal dosa besar al-Maturidi sepaham dengan al-Asy'ari bahwa orang yang berdosa
besar masih tetap mukmin. dan soal dosa besamya akan ditentukan Tuhan kelak di
akhirat. Ia pun menolak paham posisi menengah kaum Mu'tazilah.
Tetapi
dalam soal al-wa'd wa al-wa'id al-Maturidi sepaham dengan Mu'tazilah.
Janji-janji dan ancaman-ancaman Tuhan, tak boleh tidak mesti terjadi kelak. Dan
juga dalam soal anthropomorphisme al-Maturidi sealiran dengan Mu'tazilah. Ia
tidak sependapa dengan al-Asy'ari bahwa ayat-ayat yang menggambarkan Tuhan
mempunyai bentuk jasmani tak dapat diberi interpretasi atau ta'wil. Menurut
pendapatnya tangan, wajah dan sebagainya mesti diberi ant majazi atau kiasan.
Salah
satu pengikut penting dari al-Maturidi ialah Abu al-Yust Muhammad al-Bazdawi
(421-493 H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi
mengetahui ajaran-ajaran alMaturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri
mempunyai muridmurid dan salah seorang dari mereka ialah Najm al-Din Muhammad
al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-'Aqa 'idal-Nasafiah.
Seperti
al-Baqillani dan al-Juwaini, al-Bazdawi tidak pula selamanya sepaham dengan
al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiah ini, terdapat perbedaan
paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiah terdapat dua
golongan: golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan
golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi. Kalau golongan Samarkand
mempunyai paham-paham yang lebih dekat kepada paham Mu'tazilah, golongan
Bukhara mempunyai pendapat-pendapat yang lebih dekat kepada pendapat-pendapat
al-Asy'ari.
Comments
Post a Comment